Suara Pembaruan, Senin, 7 Februari 2011
Oleh George Junus Aditjondro
Laa khouf ba’dal yaum, atau “tiada ketakutan (lagi) setelah hari ini”. Slogan itu kini bergema di kalangan pemuda di Dunia Arab, dari Tunisia di Magribi (Barat) s/d Yaman di Mashrik (Timur), dan sudah menular ke Libya, Aljazair, Yordania, Syria, dan Sudan, di samping Mesir sendiri, di mana gerakan untuk menggulingkan Hosni Mubarak semakin marak dari hari ke hari. Akibatnya, dunia Arab kini menggeser peranan Amerika Latin sebagai simbol bagi generasi muda terdidik di Indonesia dalam melawan tirani, dengan beberapa perbedaan yang prinsipiil.
Apa saja perbedaan itu? Pertama-tama, ada perbedaan antara bayang-bayang masyarakat alternatif yang ingin diwujudkan oleh gerakan-gerakan perlawanan itu. Berbagai gerakan perlawanan di Amerika Latin, dari Kuba dalam milenium lalu hingga Bolivia dalam milenium sekarang, membayangkan masyarakat sosialis sebagai masa depan yang ingin mereka wujudkan.
Kesamaan cita-cita gerakan-gerakan perlawanan di Amerika Latin itu ikut terajut oleh gerakan teologi pembebasan yang dipelopori oleh perjumpaan antara para aktivis-aktivis gereja dan aktivis-aktivis sosialis, yang tersebar ke seluruh Amerika Selatan melalui medium bahasa Spanyol.
Bagaimana masyarakat yang dicita-citakan itu, belum tuntas dibicarakan di Dunia Arab, di mana fokus perhatian saat ini masih bagaimana memaksa para diktator negeri-negeri itu, yang sudah berkuasa selama 30 tahun atau lebih, turun takhta, sambil menangkis serangan para pendukung bayaran para diktator.
Perbedaan kedua adalah bahwa gerakan-gerakan pembebasan di Amerika Latin telah melahirkan tokoh-tokoh idola generasi muda, seperti Ernesto “Che” Guevara, Hugo Chavez dan Evo Morales.
Sebaliknya, salah satu karakteristik gerakan-gerakan perlawanan bangsa-bangsa Arab, menurut Profesor Horace Campbell yang meneliti gerakan-gerakan itu adalah tercetusnya revolusi-revolusi tanpa partai pelopor (vanguard party), bahkan tanpa tokoh-tokoh revolusioner.
Ini seratus persen bertentangan dengan teori Lenin, yang menganggap revolusi hanya dapat dicetuskan – dan dipelihara momentumnya – apabila dipimpin oleh segelintir orang pintar yang menguasai teori yang revolusioner, sebagaimana dijalankan oleh Lenin dan kawan-kawannya di Rusia, lebih dari seabad yang lalu.
Berbeda halnya dengan revolusi-revolusi di Amerika Latin, revolusi bangsa-bangsa Arab lebih mengikuti pola gerakan-gerakan anarkis dan anarko-sindikalis dalam Perang Saudara di Spanyol (1868-1936).
Gelombang-gelombang protes bangsa-bangsa Arab di Tunisia dan Mesir, tidak digerakkan oleh kelompok aktor yang tunggal dengan pemimpin yang tunggal. Sebaliknya, ada kelompok buruh, mahasiswa, penganggur, kelompok kelas menengah terdidik, berideologi sosialis, demokratis, dan Islamis.
Sebagian kelompok itu punya sejarah panjang dalam pembangkangan sipil di negara-negara Arab itu. Ambillah gerakan buruh, misalnya. Di Tunisia, Serikat Umum Pekerja-Pekerja Tunisia, UGTT dalam bahasa Perancis, sudah melakukan protes-protes massal sejak masa pemerintahan presiden pertama, Habib Borguiba. Pengganti Ben Ali, Muhammad al-Ghannouchi, berusaha menetralisir oposisi buruh, dengan mengangkat tiga orang menteri dari UGTT, tapi ketiganya meletakkan jabatan sehari kemudian, ketika oposisi mencetuskan boikot total terhadap setiap pemerintah interim di mana masih ada anggota partai penguasa Ben Ali, RCD (Constitutional Democratic Rally).
Gerakan buruh Mesir tidak kalah militannya. Aksi protes buruh tahun 2008, telah melahirkan dua gerakan buruh independen yang total beranggota sekitar 70.000 buruh. Demonstrasi besar melawan rezim Mubarak tercetus di Mahalla, kota delta dengan kontingen buruh terbesar di Timur Tengah, yakni 28.000 orang.
Ichwanul Muslimin
Sementara ini, ada ketakutan kelompok-kelompok Kristiani – terutama kelompok minoritas Koptik di Mesir -- bahwa penggulingan Hosni Mubarak akan mengorbitkan kelompok Ichwanul Muslimin, yang akan membahayakan kaum Kristiani. Ketakutan ini sesungguhnya tidak beralasan. Pertama, dalam aksi-aksi protes massal di Mesir, kelompok Ichwanul Muslimin sama sekali tidak menonjol. Kedua, setiap seruan ‘Allahu Akbar!” dari kalangan demonstran, selalu direspons dengan seruan “Muslim, Kristen, atheis, kita semua orang Mesir!”. Selain itu, di saat-saat demonstran Muslim melakukan shalat di saat demonstrasi, selalu ada demonstran Kristiani menawarkan untuk menjaga keamanan mereka dari serangan para preman pro-Mubarak. Begitu menurut pengamatan Profesor Campbell.
Selain itu, perlu dicatat bahwa aksi-aksi teroris terhadap minoritas Koptik yang meliputi sekitar 10 persen dari penduduk Mesir yang 80 juta, ditolak oleh sebagian besar umat Islam Mesir. Sebagai pernyataan solidaritas umat Islam dengan umat Kristen Koptik, sehari sesudah seorang pembom bunuh diri merampas nyawa 23 orang anggota jemaat, sejumlah Muslimin Mesir beribadah bersama mereka di Gereja Dua Orang Kudus di Iskandariyah (CNN Wire Staff ; The Telegraph, 7 Januari 2011).
Samir Amin (lahir 1931), ekonom Mesir yang memimpin Forum Riset Dunia Ketiga di Dakar, Senegal, melihat keberadaan kelompok-kelompok fundamentalis Islam, yang disebutnya, “political Islam”, dengan sangat kritis. Kelompok-kelompok ini diciptakan oleh para kolonialis untuk menjustifikasi politik penjajahan, tapi diteruskan oleh rezim-rezim neo-kolonialis yang tetap berada di bawah hegemoni AS, yang sekian lama mendukung rezim Zine al-Abidine Ben Ali di Tunisia, rezim Mubarak di Mesir, dan rezim Ali Abdullah Saleh di Yaman. Fungsinya adalah, meminjam terminologi Munir Said Thalib, memperdalam konflik-konflik horizontal, untuk menggemboskan konflik vertikal rakyat melawan Negara dan Modal.
Khusus untuk Mesir, menurut Samir Amin, skenario AS untuk era pasca-Mubarak adalah sebuah rezim kombinasi antara ‘Islam politis’ dan intelijen militer. Lihatlah figur wakil presiden yang diangkat oleh Mubarak, yakni Omar Soliman, komandan intelijen militer yang didukung oleh AS. “Apakah rezim demikian dapat disebut ‘demokratis’”, tanya ekonomi kiri itu ( Monthly Review, 3 Februari 2011).
Makanya, sifat anarkis gerakan protes di Mesir, merupakan kekuatan tapi sekaligus kelemahan gerakan itu. Cepat atau lambat, gerakan itu akan mengalami kristalisasi, dengan memilih model masyarakat yang ingin mereka wujudkan, dan siapa yang dapat mengantarkan rakyat Mesir ke tujuan itu.
Mesir adalah bangsa yang besar, dengan tokoh-tokoh yang luar biasa cerdas. Dari 20 orang tokoh pemikir dan penulis Arab paling menonjol selama 25 tahun, tujuh orang di antaranya berasal atau berdarah Mesir, seperti Samir Amin, Hasan Hanafi, dan Nawal Sa’adawi.
Penulis adalah pengajar mata kuliah tentang Islam dan gerakan-gerakan pembebasan paskakolonial di Program Studi Ilmu, Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.